Sabtu, 28 Januari 2012

Pertanian Terpadu

UPAYA PENGEMBANGAN AGRIBISNIS BERBASIS PERTANIAN TERPADU


I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pertanian terpadu merupakan sistem pertanian yang selaras dengan kaidah alam, yaitu mengupayakan suatu keseimbangan di alam dengan membangun suatu pola relasi yang saling menguntungkan dan berkelanjutan di antara setiap komponen ekosistem pertanian yang terlibat, dengan meningkatkan keanekaragaman hayati dan memanfaatkan bahan-bahan limbah organik. Pada dasarnya alam diciptakan dalam keadaan seimbang oleh sang pencipta, sehingga alam mempunyai cara tersendiri untuk memenuhi kebutuhan manusia akan pangan dan manusia sebagai bagian dari unsur alam memiliki tugas untuk mengelola sumber daya alam dan lingkungan dengan baik dan proporsional. Peningkatan kaenekaragaman hayati merupakan hal penting dalam menanggulangi hama penyakit, pengurangan resiko, sedangkan pemanfaatan limbah organik perlu untuk menciptakan keseibangan siklus energi (terutama unsur hara) yang berkelanjutan, serta untuk kepentingan konservasi tanah dan air.
Pola pertanian terpadu merupakan kombinasi antara pola pertanian tradisional dengan ilmu pengetahuan modern di bidang pertanian yang berkembang terus. Pada pelaksanaan pertanian terpadu lebih banyak memanfaatkan potensi lahan yang ada dengan memperhatikan dampak terhadap lingkungan sekitar serta dengan pengelolaan manajemen modern yang dikelola secara profesional dan terpadu.
Tujuan dari sistem pertanian terpadu antara lain yaitu, memasyarakatkan sistem pertanian terpadu sebagai pertanian yang lestari dimana lokasi tanah diperhatikan dan ditingkatkan untuk menjamin kelangsungan siklus yang berkesinambungan. Membentuk masyarakat tani yang mandiri dan peduli lingkungan dan sadar akan jati dirinya sebagai penjaga alam. Meningkatkan taraf hidup kesejahteraan masyarakat yang adil dan merata dengan pola pikir maju dan pola hidup sederhana. Membentuk suatu ikatan kerjasama dalam bentuk pertanian inti rakyat serta membangun kerjasama yang sejajar dalam memenuhi kebutuhan sektor pertanian. Memenuhi kebutuhan pasar akan makanan yang sehat dan bebas polusi guna meningkatkan kualitas dalam persaingan.
Dalam prakteknya, sistem pertanian terpadu tidaklah semudah dan sesederhana seperti yang banyak disangka orang. Diperlukan strategi-strategi jitu agar tujuan dari sistem pertanian terpadu dapat tercapai sesuai dengan apa yang telah diharapkan. Strategi yang harus dibangun adalah usaha tani terpadu yang berorientasi kepada pasar serta pelestarian nilai budaya tradisional dengan sistem kegiatan manajemen modern. Strategi-strategi yang perlu dibangun tersebut yaitu, yang pertama ialah pertanian tradisional dengan memanfaatkan kekayaan sumber daya yang dimiliki serta dikelola dengan manajemen modern yang bertujuan mengurangi ketergantung terhadap pupuk anorganik.
Pengembangan teknik produksi yang berorientasi kepada pasar serta menggunakan pemanfaatan pola realasi. Sistem mekanisme berupa pengadaan sarana produksi, penampungan hasil pertanian, teknologi pengolahan hasil, laboratorium pertanian terpadu. Kedua yaitu pembinaan mental budaya dan kerohanian dengan menciptakan sistem sauri tauladan, kekerabatan, serta keterbukaan dan kejujuran. Strategi ketiga ialah menggunakan sistem usaha tani mandiri yang dikelola oleh sendiri dengan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki. Strategi yang keempat yaitu membangun fasilitas pendukung yang sangat memadai dan dapat dimanfaatkan secara optimal.
B. Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan dari praktikum sistem pertanian terpadu adalah:
1. Memberikan pengetahuan praktis (hard skill) kepada mahasiswa tentang peran faktor lingkungan (biotik dan abiotik) dalam sistem pertanian.
2. Melatih mahasiswa untuk dapat menganalisis komponen-komponen dalam sistem pertanian dan menuangkannya dalam bentuk bahasan yang mengupas kondisi di setiap tipe sistem pertanian.
3. Melatih mahasiswa agar dapat mencermati setiap tipe pemanfaatan lahan baik secara umum maupun khusus.
4. Melatih mahasiswa untuk berpikir secara holistik berdasarkan wawasan mahasiswa terhadap interaksi komponen dalam sistem pertanian dan menelusuri peran lingkungan di setiap tipe sistem pertanian.
5. Melatih mahasiswa untuk memiliki pandangan bahwa kegiatan pertanian merupakan kegiatan guna mencukupi kebutuhan utama manusia, yang harus disertai dengan kiat-kiat untuk tetap memelihara lingkungan sebagai rosot (sink) yang dapat menetralkan atau menurunkan daya rusak limbah pertanian.


II. HASIL DAN PEMBAHASAN
Secara harfiah, pertanian dapat diartikan sebagai upaya pemanenan sinar matahari, atau transformasi energi matahari menjadi energi organik. Ditinjau dari komoditasnya, pertanian terdiri pertanian tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, hortikultura, peternakan dan perikanan, sedangkan apabila ditinjau dari ilmu yang membangunnya, pertanian dibangun dari ilmu-ilmu keras (hard sciences) dan ilmu-ilmu lunak (soft sciences) baik pada kekuatan ilmu-ilmu dasar, terapan dan lanjutan maupun ilmu-ilmu kawinannya.
Berdasarkan pengertian pertanian di atas, terlihat bahwa pertanian merupakan suatu ilmu dan produk dari suatu komoditi dengan cakupan yang sangat luas. Selanjutnya memandang cakupannya yang demikian maka pengembangan ilmu-ilmu pertanian tidak dapat berdiri sendiri. Mereka harus dipadukan sehingga dihasilkan suatu teknologi yang mampu menyediakan pangan bagi bangsa ini secara berkelanjutan (sustainable). Dengan demikian pada gilirannya nanti teknologi yang dihasilkan tidak lagi terkungkung pada satu bidang ilmu saja, tetapi sudah merupakan teknologifrontier. Oleh karena itu ditinjau dari ilmu-ilmu yang membangunnya ilmu pertanian yang harus dikembangkan adalah ilmu pertanian terpadu (Saputra, 2006).
Walaupun ditinjau dari komoditinya cakupan pertanian sangat luas, namun sesungguhnya mereka saling mengadakan interaksi dalam suatu ekosistem. Ekosistem inilah yang membentuk pertanian secara keseluruhan, yang selanjutnya disebut dengan istilah agroekosistem. Menurut Reijntjs (1999), agroekosistem merupakan kesatuan komunitas tumbuhan dan hewan serta lingkungan kimia dan fisiknya yang telah dimodifikasi oleh manusia untuk menghasilkan makanan, serat, bahan bakar, dan produk lainnya bagi konsumsi dan pengolahan umat manusia. Sebagai contoh sederhana adalah apabila dalam suatu kawasan ditanam jagung, maka ketika jagung tersebut panen, hasil sisa tanaman merupakan limbah yang harus dibuang oleh petani. Tidak demikian halnya apabila di kawasaan tersebut tersedia ternak ruminansia, limbah tersebut merupakan berkah karena akan menjadi makanan bagi hewan ruminansia tersebut. Hubungan timbal balik akan terjadi ketika ternak mengeluarkan kotoran yang digunakan untuk pupuk bagi tanaman yang ditanam di kawasan tersebut.
Istilah sistem pertanian mengacu pada suatu susunan khusus dari kegiatan uasaha tani (misalnya budidaya tanaman, peternakan, pengolahan hasil pertanian) yang dikelola berdasarkan kemampuan lingkungan fisik, biologis, dan sosioekonomis setrta sesuai dengan tujuan, kemampuan, dan sumber daya yang dimiliki petani (Shaner et al, 1982). Sistem pertanian tersebut sangat beragam dalam hal produktivitas dan efisiensi pemanfaatan lahan, tenaga, dan modal serta pengaruhnya terhadap lingkungan.
Apabila sistem pertanian dikembangkan secara sendiri-sendiri maka sisa tanaman, atau kotoran dari ternak merupakan limbah yang dapat menimbulkan masalah dan penanganannya memerlukan biaya tinggi sehingga akan meningkatkan biaya produksi usaha pertanian. Bila demikian halnya sama seperti pada pengembangan ilmu pertanian, secara produksi pun pertanian memerlukan keterpaduan atau pertanian terpadu. Oleh karena itu pertanian terpadu merupakan pilar utama kebangkitan bangsa Indonesia karena akan mampu menyediakan pangan yang aktual bagi bangsa ini secara berkelanjutan.
Produksi dalam bidang pertanian terpadu pada hakekatnya adalah memanfaatkan seluruh potensi energi sehingga dapat dipanen secara seimbang. Agar proses pemanfaatan tersebut dapat terjadi secara efektif dan efisien, maka sebaiknya produksi pertanian terpadu berada dalam suatu kawasan. Pada kawasan ini sebaiknya ada sektor produksi tanaman, peternakan maupun perikanan. Keberadaan sektor-sektor ini akan mengakibatkan kawasan tersebut memiliki ekosistem yang lengkap dan seluruh komponen produksi tidak akan menjadi limbah karena pasti akan dimanfaatkan oleh komponen lainnya. Disamping akan terjadi peningkatan hasil produksi dan penekanan biaya produksi sehingga efektivitas dan efisiensi produksi akan tercapai.




A. Sistem Sawah Lahan Basah dan Lahan Kering
Hasil Pengamatan
Tempat : Desa Banyudono, Kab Boyolali
Tinggi tempat : 104-105m dpl
Letak geografis : 5 0 15’ 57” LS, 105 0 14’ 7,1” BT
Luas : 2200m
Kemiringan : 109m dpl
Kelembapan : 80% wet
Ph : 6,7
Topografi : Relatif datar
Pola tanam : Monokultur
Jarak tanam : Teratur
Irigasi : Setengah teknis
Jenis tanaman : Padi
Input : Pupuk organik
Output : Jerami, beras
Siklus hara : Siklik
Sawah merupakan sebidang tanah dengan batas pemilikan berupa pematang yang lurus membujur. Umumnya jenis tanaman yang ditanam di sistem sawah lahan basah dan lahan kering adalah padi dan bersifat homogen, meskipun terkadang dijumpai pula sawah dengan tanaman selain padi, misalnya kedelai, kacang hijau, dan lain-lain. Dengan sifat homogen tersebut sawah mempunyai diversitas yang rendah dan seringkali rentan terhadap gangguan alam (resiliensi tinggi), seperti hama, gulma, dan lain-lain. Oleh karena itu, subsistem sawah ini kurang stabil dan stabilitasnya rendah. Untuk memperbaiki sifat-sifat lahan sawah, maka lahan tersebut perlu diberi masukan (input) berupa pupuk, baik pupuk alami maupun pupuk buatan.
Sawah tadah hujan merupakan sumber daya lahan yang potensial untuk meningkatkan produksi pangan melalui intensifikasi. Pada umumnya lahan ini hanya ditanami padi satu kali dalam setahun kemudian dibiarkan bera sampai musim hujan berikutnya kecuali dibeberapa daerah seperti Aceh dan Lampung. Di Indonesia sendiri sawah tadah hujan diperkirakan mencakup areal 1,4-1,8 juta hektar (Djakamiharja, 1986).
Siklus hara pada sistem sawah biasanya bersifat asiklik karena input yang digunakan berasal dari luar sistem (bahan-bahan kimia). Penggunaan input luar (pupuk dan pestisida buatan) semakin lama akan menyebabkan terjadinya masalah-masalah lingkungan, seperti misalnya erosi tanah; mengganggu kehidupan dan keseimbangan tanah; serta meningkatkan dekomposisi bahan organik, yang kemudian menyebabkan degradasi strutur tanah.
B. Sistem Tegal
Hasil Pengamatan
Tempat : Desa Butuh, Kec Mojosongo, Kab Boyolali
Tinggi tempat : 240m dpl (kanan) 234m dpl (kiri)
Letak geografis : 7 0 33’ 11,7” LS 110 0 37’ 48,8” BT
Kemiringan : 321m dpl (kanan) 319m dpl (kiri)
Luas : L = 6m P= 100m
Kelembapan : 50% wet (kanan) 45% wet (kiri)
Ph : 5 (kanan) 6,5 (kiri)
Tanah : Bedengan, Gelutan
Pola tanam : Monokultur
Jarak tanam : Teratur
Jenis tanaman : Singkong
Irigasi : Non teknis
Input : Pupuk organik ( kotoran ternak )
Output : Singkong
Siklus hara : Siklik
Tegal merupakan lahan yang berupa lahan kering (dry land, non irrigated). Batas pemilikan tegal bukan pematang seperti lahan sawah, akan tetapi bisa berupa got/saluran pembuangan air, tanaman hidup, serta bisa juga berupa pagar hidup atau mati. Jenis tanaman yang dibudidayakan di sistem ini biasanya lebih heterogen jika dibandingkan dengan sistem sawah, meskipun masih didominasi dengan salah satu jenis tanaman saja (homogen). Jenis tanaman dalam sistem ini seringkali berupa tanaman pangan (jagung, sorghum, ubi jalar, dan lain-lain) dan tanaman keras (jati, sengon, mahoni, kapuk randu, dan lain-lain).
C. Sistem Talun dan Pekarangan
Hasil Pengamatan
Tinggi tempat : 132 m dpl
Letak geografis : 7 0 32’ 7,1” LS, 110 0 40’ 39,3” BT
Kelembapan : 75% wet
Kemiringan : 190m dpl
Ph : 5,8 (kanan jalan) 6,2 (kiri jalan)
Pola tanam : Campuran (tidak teratur)
Jenis tanaman : Pisang, serai, sirsat, nangka, singkong, kelapa.
Input : Bibit, pupuk organik
Output : Hasil yang bisa dikonsumsi di pekarangan
Siklus hara : Siklik
Talun atau yang biasa juga disebut dengan pekarangan, atau orang Jawa sering menyebut kebon merupakan lahan budidaya tanaman yang berada di sekitar tempat tinggal pemiliknya. Tanaman yang ada di pekarangan merupakan tanaman heterogen. Sehingga diversitasnya tinggi dan tahan terhadap gangguan alam baik hama maupun gangguan lainnya (resiliensi rendah). Akibatnya subsistem ini relatif stabil (stabilitas tinggi). Persaingan antar tanaman yang terjadi tidak terlalu ketat, karena tanaman yang heterogen ini membutuhkan unsur hara, air dan cahaya matahari yang berbeda tiap tanaman.
Sistem talun dan pekarangan memiliki siklus hara siklis (tertutup) karena input yang digunakan berasal dari dalam sistem.





D. Sistem Perkebunan
Hasil Pengamatan
Alamat : Banaran Salatiga
Longitude : 70 15’ 44,4” LS
Latitude : 110026’ 50” BT
Ketinggian : 400-600 mdpl
Kemiringan lereng : 35%
pH : 4,2
Kelembapan : 80%
Suhu rata-rata : 300C
Pengelolaan Tanah
Pola tanam : campuran
Jenis tanaman : Kopi robusta, arabika, ekselsa
Jenis tanaman yang dibudidayakan dalam sistem perkebunan merupakan tanaman-tanaman yang bersifat homogen. Dengan sifat homogen tersebut system perkebunan mempunyai diversitas yang rendah dan seringkali rentan terhadap gangguan alam (resiliensi tinggi), seperti gangguan hama,penyakit, gulma, dan lain-lain. Oleh karena itu, subsistem perkebunan ini kurang stabil dan stabilitasnya rendah. Untuk memperbaiki sifat-sifat system perkebunan, maka sistem tersebut perlu diberi masukan (input) berupa pupuk, baik pupuk alami maupun pupuk buatan.
Siklus hara pada sistem perkebunan biasanya bersifat asiklik karena input yang digunakan berasal dari luar sistem (bahan-bahan kimia).
E. Sistem Pertanian Terpadu
Sistem pertanian yang selama ini menerapkan metode monokultur dan penggunaan input dari luar, seperti pupuk kimiawi dan pestisida kimia dalam jangka panjang justru menurunkan hasil produksi dan daya dukung lingkungan. Dengan adanya kenyataan seperti itu maka dibutuhkan pertanian yang lebih hemat energi, mempertahankan keanekaragaman hayati pertanian serta mampu mencapai produksi optimum melalui diversifikasi produk meski dalam lahan yang terbatas. Ciri tersebut dimiliki oleh sistem pertanian terpadu. Dengan sistem pertanian terpadu terdapat pengikatan bahan organik di dalam tanah dan penyerapan karbon lebih rendah dibanding pertanian konvensional yang memakai pupuk nitrogen dan sebagainya.
Penggunaan pupuk kimiawi tersebut terlalu mengikat karbon sehingga lebih menguras energi. Maka sistem pertanian terpadu berkontribusi pada pengurangan pemakaian karbon dan lebih baik karena lebih hemat energi serta menjaga rantai energi agar tidak terputus mulai dari budidaya, panen dan pasca panen. Syaratnya adalah tidak ada energi yang terbuang. Tidak ada proses pembakaran misalnya jerami, padi ataupun limbah tanaman tidak boleh dibakar, tidak boleh keluar dari usaha tani, dan harus kembali ke tanah.
Peranan bahan organik dengan hasil akhir dekomposisi humus dapat meningkatkan kesuburan fisik tanah. Humus mempunyai luas permukaan dan kemampuan adsorpsi lebih besar daripada lempung, sehinggan meningkatkan kemampuan granulasi (pembutiran) agregat sehingga tanah lebih mantap. Agregasi tanah yang baik secara tidak langsung memperbaiki ketersediaan unsur hara. Hal ini karena agregasi tanah yang baik akan menjamin tata udara dan air tanah yang baik pula sehingga aktivitas mikroorganisme dapat berlangsung dengan baik dan meningkatkan ketersediaan unsur hara. Peranan bahan organic dalam meningkatkan kesubburan fisik tanah juga akan mengurangi plastisitas dan kelekatan serta memperbaiki aerasi tanah. Humus juga menyebabkan warna tanah lebih gelap sehingga penyerapan panas sangat meningkat (Buckman dan Brady, 1892 ; Sanchez, 1976).
Selain hemat energi, keunggulan lain dari pertanian terpadu adalah petani akan memiiki beragam sumber penghasilan. Sistem Pertanian terpadu memperhatikan diversifikasi tanaman dan polikultur. Seorang petani bisa menanam padi dan bisa juga beternak kambing atau ayam serta menanam sayuran. Kotoran yang dihasilkan oleh ternak dapat digunakan sebagai pupuk sehingga petani tidak perlu membeli pupuk lagi. Jika panen gagal, petani masih bisa mengandalkan daging atau telur ayam, atau bahkan menjual kambing untuk mendapatkan penghasilan. Dengan demikian petani tidak hanya mengandalkan satu sumber penghasilan saja. Monokultur riskan terhadap hama karena menyebabkan hama senang dan menyerang. Dengan polikultur ada keseimbangan biologis, musuh ada kawan sehingga serangan hama tidak begitu banyak. Selain itu limbah pertanian juga dapat dimanfaatkan dengan mengolahnya menjadi biomassa. Bekas jerami, batang jagung dan tebu memiliki potensi biomas yang besar. Bekas gabah dan jerami saja bisa dijadikan kompos. Kalau minimal tidak dikembalikan ke tanah bisa diubah menjadi bahan bakar seperti briket. Bahkan potensinya lebih besar daripada biogas.
Praktikum sistem pertanian terpadu dilaksanakan di Kebun Pusat Pertanian Terpadu di Kecamatan Gemolong, Kabupaten Sragen. Lahan ini didirikan pada tahun 1986 dengan luas areal 2 Ha. Letak geografis lahan ini berada pada LU 7o 23,288’ dan 17,28” dan LS berada pada 110 o 50,565’ dan 33,9”. Ketinggian tempat 170 m di bawah permukaan laut. Jenis tanah litosol yaitu keadaan tanah yang keras karena sebagian besar berupa batuan napal. Batuan ini akan menjadi tanah apabila terkena sinar matahari yang lambat laun akan melapuk atau pecah menjadi batuan kecil yang selanjutnya menjadi tanah. Tanah litosol merupakan tanah kritis yang miskin kandungan unsur haranya. Karena tanah ini terjadi dari pelapukan batuan induk, sehingga lapisan tanah atau kedalamannya sangat tipis ± 10 cm dari permukaan tanah. Menurut Mardikanto (1980), lahan kritis diartikan sebagai lahan garapan yang sudah tidak lagi dapat dijadikan sumber penghidupan petani, karena kurus dan selalu mengalami erosi, dan dikhawatirkan secara cepat akan berubah menjadi lahan yang gersang yang sama sekali tidak dapat ditumbuhi oleh tanaman-tanaman yang bernilai ekonomi lagi.
Menurut Handaka et al (2009), sistem integrasi tanaman ternak adalah suatu sistem pertanian yang dicirikan oleh keterkaitan yang erat antara komponen tanaman dan ternak dalam suatu kegiatan usahatani atau dalam suatu wilayah. Keterkaitan tersebut merupakan suatu faktor pemicu dalam mendorong pertumbuhan pendapatan petani dan pertumbuhan ekonomi wilayah secara berkelanjutan. Sistem integrasi tanaman ternak dalam sistem usaha pertanian di suatu wilayah merupakan ilmu rancang bangun dan rekayasa sumberdaya pertanian yang tuntas.
Menurut keterangan Bapak Sumaryo, salah satu pengelola sistem pertanian terpadu di daerah Gemolong tersebut, petani yang berada di wilayah itu dulunya merupakan petani yang miskin karena pendapatan mereka dari hasil usaha taninya rendah. Pendapatan yang rendah ini dipengaruhi oleh hasil produksi tanaman sedikitatau tidak sesuai dengan hasil diharapkan. Hal ini tak lain karena tanahnya tidak subur. Tanah yang tidak subur sendiri dikarenakan unsur hara dalam tanah tersebuttidak tercukupi (kandungan Fe, Zn, Cu, Mn rendah). Tanah ini berwarna putihkarena komponen utamanya adalah batuan induk yang telah lapuk. Hal ini karena proses geneta tanaman masih cukup muda, yaitu mudah lapuk dan mudah tererosi, sehingga koloid-koloid tidak bisa larut karena pH terlalu tinggi.
Salah satu upaya untuk mewujudkan pengembangan ekonomi daerah Gemolong tersebut yakni dengan cara pembangunan kawasan produksi berbasis komoditas unggulan. Tanaman yang dibudidayakan di daerah ini adalah jenis holtikultura antara lain seperti jagung, cabai, kacang tanah, dan ketela pohon. Selain itu juga dibudidayakan tanaman tahunan berupa pohon jati, karena dapat menghasilkan nilai ekonomis yang tinggi. Selain itu, jati ditanam pada lahan yang miring bersama dengan rumput gajah sebagai sumber pakan ternak. Selama rentan waktu 2 tahun 4 pohon jati dapat dipanen sehingga di lahan yang bersangkutan total penjualan pohon jati mencapai 18 pohon pendapatannya bisa mencapai ratusan juta. Peternakan sapi potong menjadi salah satu komoditas unggulan yang layak dikembangkan guna meningkatkan pendapatan masyarakat daerah tersebut. Sapi yang dikembang adalah jenis Limousin, Metal, dan Brangus. Ternak sapi dipilih oleh masyarakat Gemolong karena dianggap dapat memberikan keuntungan lebih, sehingga bisa digunakan untuk membantu memenuhi kebutuhan disamping dari hasil bercocok tanamnya.
Usahatani ternak sapi menghadapi tantangan penyusutan lahan sehingga produksi hijauan dan hasil samping pertanian yang dapat dijadikan pakan sapi juga ikut berkurang. Disisi lain, usahatani ternak sapi dituntut untuk terus memacu produksi untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri yang terus berkembang. Memacu produksi melalui pemberian konsentrat tidaklah ekonomis, karena harganya terlalu mahal dan terus naik, karena bahan bakunya sebagian diimpor dan bahan baku asal dalam negeri bersaing dengan kebutuhan lain. Untuk menghadapi tantangan tersebut, maka pengembangan usaha ternak sapi dapat bertumpu pada pemanfaatan hasil samping dari tanaman yang tidak lagi dianggap sebagai limbah, namun sebagai sumberdaya pakan.
Pertanian organik terpadu berbasis peternakan terbukti sangat menguntungkan. Integrasi ternak dengan lahan pertanian merupakan upaya percepatan pengembangan peternakan dengan penerapan keterpaduan antar komoditas ternak dengan usaha tanaman pangan, perkebunan dan perikanan yang saling menguntungkan berupa limbah usaha tanaman pangan, perkebunan dan perikanan yang digunakan sebagai pakan ternak untuk ternak dan kotoran ternak dalam bentuk kompos yang digunakan untuk meningkatkan kesuburan lahan pertanian (Nurdiansyah, 2008).
Menurut penjelasan dari Bapak Sumaryo, Beliau mengemukakan bahwa integrasi antara ternak sapi dengan sistem bercocok tanam tanaman yang dilakukan di Desa Gemolong sangat membantu masyarakat karena hasil yang diperoleh dapat menopang hidup dan dapat meningkatkan tingkat kesejahteraan dari masyarakat setempat. Dari sistem pertanian tanaman yang dikelola selain mendapatkan hasil dari tanaman tersebut, tentunya juga menghasilkan limbah tanaman. Limbah tersebut tidak dibuang begitu saja oleh masyarakat, melainkan dimanfaatkan sebagai pakan ternak dimana terjadi suatu siklus perputaran tertutup antara ternak dan tanaman. Ternak sapi tak hanya diberi asupan makanan dari sisa-sisa tanaman, tetapi juga diberikan makanan darin ketela pohon yang telah dikeringkan dan digiling yang disebut sebagai tepung gaplek. Selain itu, ternak juga diberi makanan tambahan yang bernutrisi misalnya dengan penambahan EM4 dan BIOVIT dalam makanan ternak. Kesehatan sapi dijaga dengan rutin membersihkan kandang seminggu sekali, serta dibuat parit untuk mengalirkan urin sapi Ternak sapi yang diberi pakan dari limbah tanaman akan mengeluarkan feses atau kotoran, dan kotoran tersebut dapat dimanfaatkan sebagai pupuk kandang (organik) yang secara tidak langsung dapat memperbaiki kesuburan tanah litosol yang sangat miskin akan hara tanah. Dengan pemberian bahan organik (kotoran sapi) ke tanah, maka akan memperbaiki sifat kimia, fisika, maupun biologi tanah.
Kegiatan pertanian terpadu yang dilaksanakan di Desa Gemolongmembutuhkan bahan organik dalam jumlah banyak. Hal ini dikarenakan keadaan dari tanahnya memang sangat miskin akan unsur haranya. Dari kegiatan penggemukan sapi potong dapat dihasilkan bahan organik berupa pupuk kandangyang didapat dari kotoran sapi. Sebagai gambaran, kotoran dari 5 ekor sapi dapat dipakai untuk memupuk 1 Ha lahan. Kotoran (feses) yang dihasilkan di sana sebanyak 30 kg/hari untuk satu ekor sapi. Dari 30 kg kotoran sapi, pupuk kandang yang dihasilkan adalah sebanyak 15 kg/hari. Dengan kata lain jumlah pupuk kandang yang dihasilkan adalah setengah dari jumlah total dari kotoran sapi tersebut. Pengolahan kotoran sapi menjadi pupuk kandang masih dilakukan dengan cara yang konvensional (sederhana), yaitu dengan cara kotoran-kotoran tersebut dikumpulkan di sebuah tempat yang telah disediakan yang kemudian difermentasi selama ± 40 hari dengan penambahan stardek. Penambahan tiap 1 Kg stardek digunakan untuk 500 Kg kotoran sapi. Kotoran yang telah difermentasi baru dapat digunakan untuk memupuk lahan. Sistem pemberian pupuk pada lahan dilakukan dengan cara menambahkan pupuk kandang di sekitar tiap tanaman budidaya secara melingkar (seperti gundukan).
Pembuktian pengaruh penambahan pupuk kandang terhadap tingkat kesuburan tanah di Desa Gemolong dilakukan dengan cara perlakuan pemberian pupuk kandang terhadap empat lahan yang berbeda. Lahan pertama sebagai kontrol tanpa diberi tambahan pupuk kandang, lahan kedua sebagai perlakuan dengan penambahan pupuk kandang selama satu tahun, lahan ketiga dengan penambahan pupuk kandang selama dua tahun, dan lahan keempat dengan penambahan pupuk kandang selama tiga tahun. Dari keempat perlakuan tersebut diperoleh hasil bahwa pada lahan yang tidak diberi pupuk kandang tanaman yang dibudidayakan pada lahan tersebut tidak bisa tumbuh subur dan tidak terdapat organisme pembentuk pori tanah (cacing tanah). Sedangkan untuk lahan yang yang ditambahkan dengan pupuk kandang ditemukan adanya cacing tanah dan tanaman yang dibudidayakan pada lahan tersebut dapat tumbuh dengan subur. Semakin lama lahan dipupuk dengan pupuk organik, struktur tanahnya semakin remah (gembur) karena semakin banyak organisme tanah seperti cacing tanah yang membentuk pori-pori tanah.
Dari hasil kegiatan praktikum dapat disimpulkan bahwa pemakaian pupuk organik pada budidaya tanaman di Desa Gemolong telah memberikan beberapa keuntungan, antara lain adalah: (1) diversifikasi penggunaan sumberdaya, (2) mengurangi resiko usaha, (3) efisiensi penggunaan tenaga kerja, (4) efisiensi penggunaan input produksi, (5) mengurangi ketergantungan energi kimia, (6) ramah lingkungan, (7) meningkatkan produksi, dan (8) pendapatan rumah tangga petani yang berkelanjutan. Sistem integrasi tanaman – ternak memadukan sistem usahatani tanaman dengan sistem usahatani ternak secara sinergis sehingga terbentuk suatu sistem yang efektif, efisien dan ramah lingkungan.
Perpaduan sistem integrasi tanaman dengan ternak, dicirikan dengan adanya saling ketergantungan antara kegiatan tanaman dan ternak (resource driven) dengan tujuan daur ulang optimal dari sumberdaya nutrisi lokal yang tersedia. Sistem yang kurang terpadu dicirikan dengan kegiatan tanaman dan ternak yang saling memanfaatkan, tetapi tidak tergantung satu sama lain (demand driven) karena didukung oleh input eksternal.
Hampir semua petani dengan lahan sempit di daerah tropis masih terus melakukan budidaya ganda. Pertanaman ganda (Multiple cropping), yaitu intensifikasi pertanaman dalam dimensi waktu dan ruang. Bentuknya adalah penanaman dua jenis tanaman atau lebih pada lahan yang sama dalam kurun waktu satu tahun. Menurut bentuknya, penanaman ganda yang diterapkan di Gemolong adalah pertanaman tumpangsari (Intercropping). Sistem tumpangsari yang diterapkan antara ubi kayu tumpang sari dengan jagung, jagung tumpang sari dengan kacang tanah, cabe tumpang sari dengan kacang tanah. Selain palawija dan hortikultura terdapat tanaman tahunan, seperti pohon jati. Dalam sistem pertanaman tumpangsari, agar diperoleh hasil yang maksimal maka tanaman yang ditumpangsarikan harus dipilih sedemikian rupa sehingga mampu memanfaatkan ruang dan waktu seefisien mungkin serta dapat menurunkan pengaruh kompetitif yang sekecil-kecilnya. Jenis tanaman yang digunakan dalam tumpangsari harus memiliki pertumbuhan yang berbeda, bahkan bila memungkinkan dapat saling melengkapi. Pengelola pertanian terpadu di Gemolong (Bp Sumaryo) menyadari bahwa hal ini merupakan praktek yang sangat cocok untuk memaksimalkan produksi dengan input luar yang rendah sekaligus meminimalkan resiko dan melestarikan sumberdaya alam. Pertanaman secara tumpangsari pada lahan kering dapat memelihara kelembaban dan kadar air tanah serta mengurangi erosi dan meningkatkan kesuburan tanah
Pada hampir semua sistem budidaya ganda yang dikembangkan oleh petani lahan sempit, tingkat produktivitas yang dapat dipanen per satuan luas lebih tinggi dari pada budidaya tanam tunggal dengan tingkat pengelolaan yang sama. Keuntungan panen bisa berkisar antara 20 % sampai 60 %. Perbedaan ini sebagai akibat berbagai faktor, seperti tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi, penurunan kerugian yang disebabkan oleh gulma, serangga dan penyakit serta pemanfaatan yang lebih efisien terhadap sumber daya air, sinar matahari dan unsur hara yang ada. Kalau beberapa tanaman budidaya tumbuh sekaligus, kegagalan salah satu tanaman dapat dikompensasikan oleh tanaman yang lain (baik itu sebagai hasil panen sebenarnya ataupun dalam hal nilai uangnya). Hal ini mengurangi resiko usahatani.
Dalam kurun waktu satu tahun, penanaman jagung dilakukan sebanyak dua kali. Tanaman jagung dipanen kurang lebih setelah 3-4 bulan setelah tanam. Hasil panen jagung dijual, sedangkan sisa atau limbah dari jagung, seperti batang jagung, daun jagung dan klobot jagung dimanfaatkan untuk membuat pupuk hijau. Dikarenakan limbah dari tanaman jagung yang terlampau banyak, maka sebagian dari limbah tersebut dijual keluar setelah kebutuhan untuk pakan ternak dan pengembalian sebagian limbah ke lahan sebagai pupuk hijau terpenuhi. Dalam satu tahun, dihasilkan pupuk hijau dari limbah jagung kurang lebih 4-5 ton. Sedangkan jumlah tanaman ubi kayu kurang lebih 15.000 tanaman per hektar. Jumlah tanaman ubi kayu 15.000 per Ha. Ubi kayu ini dimanfaatkan untuk pakan ternak (gaplek) dan untuk membuat pupuk hijau serta dikonsumsi sendiri.
Varietas cabai yang dibudidayakan di lahan ini adalah cabai kriting. Pemilihan varietas ini dilatar belakangi karena sebelumnya pernah dibudidayakan cabai varietas “hot beauty” yang bermorfologi besar dan panjang, tapi di lahan tersebut kurang cocok untuk varietas tersebut. Hal ini ditandai dengan jumlah batang yang lebih sedikit dan ukurannya besar tapi pendek. Hama yang biasa menyerang tanaman cabai adalah lalat buah. Pengendalian yang dilakukan adalah dengan pengendalian mekanik, yaitu dengan menggunakan perangkap dari botol bekas yang didalamnya terdapat kapas yang ditetesi dengan cairan metyl eugenol, dengan tujuan untuk menarik lalat buah jantan masuk ke dalam botol tersebut. Petani membuat 25 botol perangkap lalat buah setiap 1 Ha nya. Hama ini biasanya menyerang pada musim hujan, sedangkan pada musim kemarau yang menyerang adalah hama keriting daun. Jumlah tanaman cabai keriting per hektar kurang lebih 18.000 tanaman, dengan jarak tanam 75 x 70 cm. Cabai mulai dipanen pada umur 2,5 bulan, dengan lama pemanenan dua bulan. Selama dua bulan tersebut, setiap tiga hari sekali cabai dipetik.
Dari berbagai uraian di atas dapat dihitung analisis ekonomi dari hasil integrasi antara tanaman pertanian dan peternakan di lahan kebun pertanian terpadu di Desa Gemolong. Ternak sapi yang ada di di Desa Gemolong ditujukan untuk penggemukan dengan pembelian bibit sapi dari luar. Satu ekor bibit sapi seharga Rp 8.500.000,00 yang dipelihara sampai sapi berusia kurang lebih satu tahun. Setelah dipelihara selama kurun waktu tersebut, sapi bisa dijual seharga kurang lebih Rp 17.000.000,00 per ekor sapi. Analisis ekonomi untuk ternak sapi yaitu harga pakan ternak berupa jerami (1 truk) Rp 450.000,00, biaya kebutuhan jerami 1 ekor sapi per hari Rp 2.500,00. Biaya tenaga kerja per hari Rp 2.500,00 untuk 1 ekor sapi. Biaya kebutuhan konsentrat per ekor tiap harinya sebesar 4 kg x Rp 1.650 = Rp 6.600,00. Hasil penjualan daging per kg pada 8 bulan yang lalu Rp 24.000,00, 5 bulan yang lalu Rp 23.000,00 sedangkan sebulan yang lalu sebesar Rp 20.000,00 per kg di pasaran.
Limbah padat ternak sapi digunakan untuk pembuatan pupuk kandang. Lima ekor limbah padat sapi dapat digunakan untuk kebutuhan 1 Ha. Pupuk kandang yang dihasilkan 5 ekor sapi satu tahun untuk 1 Ha sebesar 15 kg/hari x 360 hari= 5.400 kg. Kebutuhan tanaman palawija terhadap pupuk kandang 10 ton/ha dan tanaman hortikultura 20 ton/Ha. Hasil penjualan cabai merah kriting Rp 4.000,00 dan cabai hijau Rp 2.000,00. Jumlah tanaman cabai per Ha 18.000 tanaman dengan jarak tanam 75 x 70 cm. Setiap 1 m3 dapat menghasilkan cabai 3 kg. Jadi hasil penjualannya mencapai Rp 3.000,00. Hasil penjualan sawi Rp 8.000,00. Dengan demikian, hasil penjualan cabai dan sawi mencapai Rp 24.000.000,00 tiap tahunnya per Ha. Sedangkan untuk lahan yang ditanami jati di Kebun Pertanian Terpadu ini terdapat 500 jati per hektar. Sampai saat ini jumlah jati yang telah dijual adalah 18 pohon jati dengan harga @ ± Rp 2.500.000, sehingga hasil penjualan jati yang telah diperoleh sebesar Rp 45.000.000. Jadi antara pemasukan dan pengeluaran dapat diketahui dalam tabel analisis biaya.
Dalam tabel terlihat bahwa pemasukan jauh lebih tinggi dibandingkan pengeluaran. Pengeluaran dapat diminimalisir karena banyaknya pemakaian input yang berasal dari dalam. Hal ini sangat bermanfaat untuk mengurangi biaya yang dikeluarkan. Jadi pertanian terpadu mendatangkan keuntungan yang relatif baik secara signifikan. Pemupukan banyak dilakukan dengan menggunakan pupuk yang telah dibuat sendiri dari kotoran sapi sehingga pupuk yang dihasilkan bermanfaat. Biaya penggunaan tenaga kerja berasal dari luar sehingga memerlukan biaya. Untuk penanggulangan OPT dapat menggunakan pestisida hayati sehingga tidak membeli dari luar, apabila menggunakan pestisida kimia sangat jarang dilakukan mengingat hasil panen daripada produk pertanian yang dapat digunakan sebagai bahan pestisida banyak dihasilkan.


III. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan di lapangan, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Sawah memiliki biodiversitas yang rendah karena pola tanaman monokultur dengan tanaman padi saja. Biodiversitas yang rendah mengakibatkan stabilitas sawah rendah tanaman yang ditanam di sawah mudah diserang hama dan penyakit. Siklus hara pada sistem sawah biasanya bersifat asiklik karena input yang digunakan berasal dari luar sistem (bahan-bahan kimia). Sawah dengan lahan basah lebih besar peluang untuk terjadi erosi oleh karena harus ada pengolahan tanah yang dilakukan secara teratur dan tepat. Sedangkan untuk sawah dengan lahan kering sangat diutamakan pemupukan agar unsur hara yang dibutuhkan untuk tanaman dapat tersedia yang cukup di dalam tanah.
2. Tegal memiliki biodiversitas yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan sawah karena tanaman yang lebih beraneka ragam. Namun terkadang hanya satu jenis tanaman saja. Biasanya batas pemilikan tegal bukan pematang seperti lahan sawah, akan tetapi bisa berupa got/saluran pembuangan air, tanaman hidup, serta bisa juga berupa pagar hidup atau mati. Siklus hara pada sistem sawah biasanya bersifat asiklik karena input yang digunakan berasal dari luar sistem (bahan-bahan kimia).
3.

Biodiversitas yang paling tinggi adalah talun dan pekarangan karena memiliki beranekaragam tanaman (multiple cropping). Biodiversitas yang tinggi pada talun dan pekarangan mengakibatkan stabilitas pekarangan yang tinggi pula. Sehingga tanaman di talun dan pekarangan tidak terserang hama maupun penyakit. Siklus hara pada talun dan pekarangan termasuk dalam siklus hara tertutup. Sehingga unsur hara yang berasal dari pekarangan akan kembali ke pekarangan. Persaingan antar tanaman yang terjadi tidak terlalu ketat, karena tanaman yang heterogen membutuhkan unsur hara, air dan cahaya matahari yang berbeda pada tiap tanaman.
4. Perkebunan kopi ini memiliki sifat homogen karena hanya terdapat satu jenis tanaman (homogen). Oleh karena itu, perkebunan mempunyai diversitas yang rendah serta rentan terhadap gangguan alam seperti hama, penyakit, dan lain-lain. Sehingga, subsistem perkebunan ini kurang stabil dan stabilitasnya rendah. Untuk memperbaiki sifat-sifat sistem perkebunan, maka diperlukan masukan (input) berupa pupuk, baik pupuk alami maupun pupuk buatan. Siklus hara pada sistem perkebunan bersifat asiklik karena input yang digunakan berasal dari luar sistem (bahan-bahan kimia).
5. Sistem pertanian terpadu yang diamati berada di Kebun Pengembangan Pertanian Terpadu di Pilang Rejo, Geneng Duwur, Gemolong Sragen. Pada sistem pertanian ini lahan kritis dapat diolah menjadi lahan yang dapat dimanfaatkan dengan baik. Dimana unsur hara yang sebelumnya tidak tersedia atau sedikit menjadi cukup atau ketersediaan unsur hara dalam tanah bagi tanaman sudah menjadi lebih meningkat. Pengolahan pertanian ini menggunakan input dari dalam yang berasal dari output pengolahan itu sendiri, seperti limbah ternak dipergunakan sebagai pupuk kandang sedangkan seresah dan jerami digunakan sebagai pakan ternak. Sehinga rantai makanan dalam pertanian terpadu ini terus berputar untuk dapat memenuhi kebutuhan baik untuk pertanian itu sendiri maupun untuk masyarakat sekitar.












DAFTAR PUSTAKA
Mardikanto, Totok. 1980. Beberapa istilah Mengenai Nilai Tanah. Majalah Pertanian. No. 3 (1979/1980). 34-37.
Nurdiansyah, Nanda. 2008. Pertanian Terpadu: Integrasi Peternakan dengan Lahan Pertanian. http://www.poultryindonesia.com. Diakses pada hari Kamis, tanggal 20 Mei 2010. Surakarta.
Reijntjs, C., B. Haverrkort and A. Waters-Bayer. 1999. Pertanian Masa Depan: Pengantar untuk Pertanian Berkelanjutan dengan Input Rendah. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Saputra, R.U.H. 2006. Pertanian Terpadu Sebagai Pilar Kebangkitan Bangsa Indonesia. http://www.tumoutou.net. Diakses pada hari Kamis, tanggal 20 Mei 2010. Surakarta.
Shaner, W.W., Philipp, P.F. dan Schmehl, W.R. 1982. Farming Systems Research and Development: Guidelines for Developing Countries. Buolder. Westview.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar